Rabu, 12 Juni 2013

perbedaan sistem pemerintahan jokowi dan sby



Nama     : Lydia yulia sari
Kelas     : 1DF01
Npm      : 54212295

SISTEM PEMERINTAHAN JOKOWI DAN AHOK
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih untuk periode 2012-2017 Joko Widodo (Jokowi) Dan Basuki TP (Ahok) dalam kampanyenya beberapa bulan lalu menyampaikan visi dan misi selama menjabat sebagai orang nomer 1 (dan dua) untuk DKI Jakarta.
Dalam Visi nya, Pasangan yang datang dari luar Jakarta ini menyampaikan “Jakarta Baru, kota modern yang tertata rapi dan manusiawi, dengan kepemimpinan dan pemerintah yang bersih dan melayani.”
Sedangkan Misi mereka selama 5 tahun jabatan adalah;
1)Mewujudkan Jakarta sebagai kota modern yang tertata rapi serta konsisten dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
2)Menjadikan Jakarta sebagai kota yang bebas dari masalah-masalah menahun seperti macet, banjir, pemukiman kumuh, sampah dan lain-lain.
3)Menjamin ketersediaan hunian dan ruang publik yang layak serta terjangkau bagi warga kota dan ketersediaan pelayanan kesehatan yang gratis sampai rawat inap dan pendidikan yang berkualitas secara gratis selama 12 tahun untuk warga Jakarta.
4)Membangun budaya masyarakat perkotaan yang toleran, tetapi juga sekaligus memiliki kesadaran dalam memelihara kota, dan
5)Membangun pemerintahan yang bersih dan transparan serta berorientasi pada pelayanan publik.

Jokowi-Ahok juga sempat menyampaikan program kerjanya selama 100 hari pertama dalam menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Program 100 hari kerja itu meliputi Pelaksanaan sistem kartu Jakarta Sehat dan Jakarta Cerdas, dan perombakan sistem birokrasi menjadi sistem yang melayani. Baru setelah itu mereka melanjutkan langkah-langkah penanganan masalah utama Jakarta, seperti macet dan banjir. Salah satu yang cukup fenomenal adalah mereka akan membuat akses 24 jam untuk masyarakat dan media memantau program kerja mereka yang sedang dilaksanakan maupun yang belum terlaksana dan mereka juga terbuka untuk segala bentuk kritik dimana bertujuan untuk mereka membenahi diri.
Dalam kampanyenya beberapa bulan lalu juga mereka menyampaikan program-program unggulan dalam Bidang Penataan Kota, Bidang Mengatasi banjir, Bidang Transportasi, Bidang Kesehatan, Bidang Ekonomi Masyarakat dan Bidang Reformasi Birokrasi.

Adapun 7 Program Kerja  Jokowi-Ahok yang dijanjikan adalah:

BIDANG PENATAAN KOTA
1.
Melakukan intervensi sosial untuk merevitalisasi pemukiman padat dan kumuh, tetapi meniadakan penggusuran.
2. Pembangunan super blok untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Berupa one stop living yang terdiri dari hunian vertikal (rumah susun), ruang publik berupa taman, pasar, dan pusat layanan kesehatan.

MENGATASI BANJIR
1.
Pembangunan embung/folder untuk menangkap dan menampung air hujan di setiap kecamatan dan di setiap kelurahan.
2. Membeli daerah tangkapan air seperti situ/waduk di hulu sungai agar debit air yang masuk ke Jakarta bisa dikendalikan.
3. Bekerja sama dengan pemerintahan di sekitar Jakarta untuk membuat sebuah otoritas yang mengatur dan mengelola sungai-sungai yang bermuara di Jakarta.
4. Mengintegrasikan seluruh saluran drainase agar terkoneksi dengan kanal-kanal pembuangan air.

BIDANG TRANSPORTASI
1.
Bekerja sama dengan pemerintah sekitar Jakarta untuk membuat otoritas pelayanan transportasi Jabodetabek agar persoalan mobilitas warga bisa ditangani oleh badan yang memiliki otoritas lintas daerah.
2. Mengganti sebagian besar Busway menjadi Railbus sehingga kapasitas dalam mengangkut penumpang jauh lebih besar. Mengutamakan people mobilization, bukan car mobilization.
3. Memperbanyak armada angkutan umum, terutama Busway di koridor-koridor yang tetap dipertahankan sebagai jalur Busway.
4. Mengganti kendaraan umum seperti metromini, kopaja, dan bis dengan kendaraan yang jauh lebih layak agar warga merasa nyaman untuk menggunakan kendaraan umum.
5. Pembangunan monorail.
6. Merintis pembangunan MRT/Subway sebagai angkutan massal warga kota.
7. Melengkapi penyediaan transportasi massal dengan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi melalui sistem Electronic Road Pricing (ERP), sewa parkir yang tinggi, pengaturan kendaraan berdasarkan nomor polisi genap-ganjil, dan pengaturan jam kerja.

BIDANG KESEHATAN
1.
Memperpendek jalur birokrasi pelayanan kesehatan yang saat ini menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) menjadi KARTU SEHAT yang berlaku di rumah sakit pemerintah, dan pembayarannya ditanggung oleh pemerintah.
2. Menyediakan Pusat Kesehatan Masyarakat di pasar-pasar tradisional, terutama pasar-pasar yang dibangun di Super Blok untuk kalangan menengah ke bawah.

BIDANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
1.
Membangun mall khusus untuk pedagang kaki lima agar lebih tertib dan tidak memakan badan jalan.
2. Merevitalisasi pasar tradisional agar tetap bisa bersaing dengan pasar modern dan menggerakkan perenomian warga kota.

BIDANG KEBUDAYAAN
1.
Membangun kebudayaan warga kota berbasis komunitas.Menyediakan ruang-ruang publik sebagai fasilitas pergaulan warga dan sarana tempat mengekspresikan diri.
2. Mengembangkan pusat-pusat kebudayaan Jakarta di lima wilayah administratif.
3. Merevitalisasi melengkapi fasilitas kawasan Old Batavia agar menjadi daya tarik wisata sejarah dan budaya di Jakarta.

BIDANG PELAYANAN PUBLIK
1.
Melaksanakan reformasi birokrasi agar pemerintahan berjalan bersih, transparan, dan profesional
2. Mempercepat dan memperpendek waktu pengurusan izin, waktu pengurusan izin paling lama hanya sampai enam hari kerja.
3. Meniadakan pentungan dan perlengkapan yang memungkinkan Polisi Pamong Praja melakukan kekerasan terhadap warga
4. Gubernur dan Wakil Gubernur berkomitmen untuk tidak menggunakan voorrijder sehingga bisa merasakan keadaan yang sesungguhnya sedang dialami warga
5. Gubernur dan Wakil Gubernur hanya akan berada di kantor selama 1 jam saja, dan sisanya meninjau proses pembangunan dna pelayanan publik di lapangan


Pada tanggal 15 Oktober 2012, Jokowi-Ahok dilantik dan memulai program kerja mereka. Selanjutnya semua dikembalikan ke masyarakat DKI Jakarta untuk menilai apakah sudah terasa perubahan yang terjadi? Membenahi Jakarta memang tidak semudah membalikan telapak tangan, Bahkan 5 tahun bukan waktu yang cukup untuk menjadikan ibukota tercinta menjadi lebih dicintai, namun dibutuhkan kesabaran. Di samping itu dukungan dan partisipasi dari masyarakat Jakarta sangat berperan untuk membantu pembenahan Jakarta ini.

SISTEM PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Jika sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensial murni, maka pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan berjalan dengan efektif. Nyatanya, eksekutif kadang dibuat tidak berkutik jika berhadapan dengan legislatif. Dalam forum seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dengan tema Pemilihan Presiden 2009:Pemantapan Sistem Politik Demokrasi dan Pengokohan Reformasi” di Banjarmasin, para pakar politik menilai bahwa saat ini pemerintahan SBY-JK menerapkan sistem presidensial setengah hati. Akibatnya roda pemerintahan menjadi tidak efektif.
Hadir dalam seminar itu Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA, Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA, Dr. J. Kristiadi, Prof. Syamsuddin Haris, M.Si, Firman Noor, MA dan Andrinof Chaniago, M.Si. Menurut pakar politik Universitas Indonesia Maswadi Rauf, Kalau praktek presidensial berjalan optimal, presiden bisa menggunakan kewenangannya secara penuh dalam mengatur bangsa ini. Dan kondisinya tidak seperti sekarang ini.
Namun, karena pertimbangan tetap terpeliharanya stabilitas politik maka terjadilah politik akomodatif atau praktek sistem presidensial setengah hati seperti yang dilakukan Presiden SBY dan Wapres JK dalam menjalankan roda pemerintahan hingga memasuki tahun keempat masa pemerintahan hasil Pemilu 2004. Di sisi lain sistem presidensial sebenarnya mengandung potensi kebuntuan politik, bila terjadi persaingan seimbang antara presiden dengan parlemen atau DPR.
Sistem presidensial di negara-negara Amerika Latin sudah seringkali terjadi “deadlock” atau kebuntuan yang berlanjut pada terjadi perebutan kekuasan dengan cara makar. “Hanya saja keuntungan Indonesia pada dua faktor yaitu tidak ada perbedaan mendalam di antara parpol dalam hal ideologi, dan tidak ada tradisi kudeta militer,” ucapnya.
Pakar politik dari Universitas Indonesia itu mengingatkan, bukan berarti prektek presidensial di Indonesia tidak menimbulkan kerawanan dan bisa saja terjadi dua hal yang selama ini membedakan Indonesia dengan negara-negara di Amerika Latin. Sementara itu Syamsuddin Haris berpendapat dalam mengelola negara dengan pertimbangan menciptakan stabilitas itu memang baik, tapi efektifitas roda pemerintahan jauh lebih baik dan menjadi tuntutan mendesak.
Terjadi di Indonesia penerapan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan multi partai atau parlementer, sebagai sebuah sistem yang dipaksakan dan hal itu hanya sebatas imajiner. “Aneh, partai politik pendukung pemerintah juga melakukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah sehingga sulit mencapai pemerintahan yang efektif,” katanya.
Untuk itu Syamsuddin Haris menyarankan agar ke depan Indonesia tidak perlu berubah pada sistem parlementer, tapi juga tidak lagi menerapkan sistem presidensial. Ada satu pilihan yang dinilai lebih cocok bagi Indonesia yaitu sistem semi presidensial, yang sebenarnya standar dalam tipe sistem negara.
Para pakar ilmu politik itu membahas materi aktual seperti Evaluasi Sistem Presidensial, Sosok Ideal Presiden RI 2009-2014, Format Kampanye Ideal, Peta Kekuatan Politik dan Kecendrungan Koalisi, Partisipasi Publik dan Budaya Politik Pemilih, serta Evaluasi Pilpres 2004.

Sumber: antara, 15 April 2008

Minggu, 07 April 2013

KENEGARAAN INDONESIA


KONDISI HUKUM DINEGARA INDONESIA

            Kondisi Negara Hukum Indonesia kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing), hukum juga harus difungsikan sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara.
         Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.
          Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.
            Namun dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan (policy making) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan (policy executing), masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat diselesaikan dengan baik selama 11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma, perubahan-perubahan telah terjadi dimulai dari norma-norma dasar dalam konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya dapat dikatakan bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya sebagaimana diwarisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutannya maka keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam pelbagai peraturan perundang-undangan harus pula diubah dan diperbarui.
Sebenarnya, upaya pembaruan hukum itu sendiri tentu dapat dikatakan sudah berjalan selama 11 tahun terakhir ini. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa: Pertama, perubahan-perubahan tersebut cenderung dilakukan secara cicilan sepotong-sepotong tanpa peta jalan (road-map) yang jelas. Akibatnya, perubahan sistem norma hukum kita selama 11 tahun masa reformasi ini belum menghasilkan kinerja Negara Hukum yang kita diidealkan. Kedua, pembentukan pelbagai peraturan perundang-undang baru telah sangat banyak menghasil norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan tetapi norma-norma baru itu belum secara cepat tersosialisasikan secara umum sehingga pelaksanaannya di lapangan banyak menghadapi kendala dan kegagalan. Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah terbentuknya norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi dijadikan rujukan dalam praktik.
Ketiga, di masa reformasi ini banyak sekali lembaga baru yang kita bentuk untuk maksud yang mulia, yaitu agar kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sudah berubah sebagai masyarakat demokratis dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara. Pembentukan lembaga-lembaga baru itu dilakukan sekaligus dengan mengubah fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Akan tetapi dalam kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali lembaga-lembaga baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945, sementara lembaga-lembaga yang lama sudah lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsi yang diambil alih oleh lembaga baru. Akibatnya, timbul gejala tumpang tindih akibat banyaknya lembaga yang menangani satu fungsi yang sama, sementara di pihak lain banyak fungsi yang ada lembaga yang menanganinya sama sekali. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sesudah 11 tahun masa reformasi ini, kita menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan anomi mencerminkan keadaan yang seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous), sedangkan keadaan anomali menegaskan adanya kekacauan structural dan fungsional dalam hubungan antara lembaga dan badan-badan penyelenggara fungsi kekuasaan negara.
            Dalam konteks pembuatan aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja lembaga-lembaga legislasi dan regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kinerjanya sebagian terbesar masih belum professional dan mengarah kepada upaya perbaikan sistem hukum kita secara keseluruhan. Baik DPR, DPD, DPRD, biro-biro hukum pelbagai instansi pemerintahan masih bekerja secara serabutan dantanpa arah yang jelas, melainkan hanya berdasarkan kebutuhan dadakan dan didasarkan atas pesanan atau pun perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di bidang pelaksanaan kebijakan (policy executing), yang menentukan justru adalah atasan atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi penerapan hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara kuat, dan masih sangat tergantung kepada keteladanan pimpinan.
            Begitu pula dalam proses penegakan hukum (law enforcement), aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja yang tradisional dan cenderung primitif. Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan Chandra memberi tahu kepada kita semua mengenaki kebobrokan dunia penegakan hukum kita. Dari kasus ini jelas tergambar betapa buruknya cara kerja lembaga penyidik di Negara kita. Sebaliknya, lihat pula kasus terungkapnya kasus istana dalam penjara yang melibatkan Artalyta Suryani yang menikmati kamar tidur mewah yang jelas tidak adil bagi narapidana lain yang tidak berpunya. Dengan perkataan lain, kita menghadapi banyak masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke lembaga pemasyarakatan.
            Mengenai kasus Bibit dan Chandra, misalnya, telah menyedot perhatian publik yang sangat luas selama berbulan-bulan. Namun, solusi yang diambil kemudian adalah penghentian perkaranya oleh Kejaksaan atas tekanan publik. Solusi demikian juga mencatatkan preseden yang sangat buruk dalam penegakan hukum yang tunduk kepada tekanan politik. Sekali aparat penegak hukum takluk kepada tekanan politik yang datang dari bawah (civil society), maka pada saat yang lain jangan salahkan jika ada orang yang menilai bahwa aparat yang sama akan tunduk dan takluk pula kepada tekanan politik (state) yang datang dari atas ataupun dari samping (market). Namun demikian, semua sudah menjadi bubur, apa boleh buat, kasus Bibit dan Chandra sudah berakhir, dan kita harus siap menutup buku mengenai hal ini. Akan tetapi, dari kasus Bibit dan Chandra, kasus Istana Artalyta di LP, serta kasus-kasus lainnya, seperti kasus Bank Century dan sebagainya, kita dapat berkaca mengenai bobroknya sistem penegakan hukum di Negara kita. Jalan yang tersedia di hadapan kita hanya satu, yaitu bahwa kita harus melangkah ke depan untuk memperbaiki sistem hukum dan peradilan di tanah air kita sebagaimana mestinya dengan cetak biru dan peta jalan (road-map) yang jelas berdasarkan UUD 1945.
            Untuk itu, kita dapat mengusulkan kiranya sistem peradilan kita dievalusasi dan diadakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan pengadilan dapat ditingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjamin keadilan daripada yang ada sekarang. Misalnya, kita mesti memperbaiki kondisi-kondisi untuk menjamin independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem peradilan yang menjamin mutu putusan seperti dengan menerapkan kebijakan pembatasan perkara di Mahkamah Agung sambil memperkuat kedudukan dan peranan Pengadilan Tinggi di setiap ibukota provinsi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, di lingkungan peradilan, sebaiknya segera diadakan sistem kamar dalam penanganan perkara, tidak lagi sistem majelis seperti yang dipraktikkan selama ini. Dengan sistem kamar itu, perkara-perkara (1) pidana, (2) perdata umum, (3) bisnis, (4) agama, (5) tatausaha Negara, dan (6) militer dapat ditangani secara professional oleh hakim yang memang mengusasi bidang hukum terkait.
            Demikian pula dengan aparat dan aparatur penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembelaaan, dan pemasyarakatan juga perlu segera direformasi secara mendasar. Polisi, sejak berpisah dari TNI (ABRI) tentu harus mengubah wataknya menjadi organisasi sipil. Pendekatannya jangan lagi militeristik. Polisi adalah pengayom masyarakat bukan bermusuhan dengan masyarakat. Kejaksaan dan lembaga-lembaga penuntut khusus lain, yaitu KPK juga harus lah bertindak professional sebagai lembaga penegak keadilan, bukan sekedar merupakan lembaga penegak peraturan.
            Yang tidak kalah peliknya juga adalah profesi advokat yang masih jauh dari idealitas profesionalnya sebagai penegak hukum. Apalagi sampai sekarang, persatuan para advokat dalam wadah tunggal sampai sekarang juga terus menghadapi kendala yang para advokat sendiri tidak juga kunjung dapat menyelesaikannya sendiri. Padahal para advokat mengimpikan watak independensi yang kokoh bagi kedudukan professional mereka. Namun, jika para advokat justru tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah internal mereka, apa alasannya untuk mencegah agar fungsi-fungsi Negara yang relevan ikut berperan jikalau kepentingan rakyat dan negara justru menuntut berfungsinya organisasi tunggal para advokat yang oleh UU Advokat telah dikukuhkan sebagai aparat penegak hukum?
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
sumber: google

KENEGARAAN INDONESIA


KONDISI HUKUM DINEGARA INDONESIA

            Kondisi Negara Hukum Indonesia kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing), hukum juga harus difungsikan sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara.
         Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.
          Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.
            Namun dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan (policy making) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan (policy executing), masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat diselesaikan dengan baik selama 11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma, perubahan-perubahan telah terjadi dimulai dari norma-norma dasar dalam konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya dapat dikatakan bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya sebagaimana diwarisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutannya maka keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam pelbagai peraturan perundang-undangan harus pula diubah dan diperbarui.
Sebenarnya, upaya pembaruan hukum itu sendiri tentu dapat dikatakan sudah berjalan selama 11 tahun terakhir ini. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa: Pertama, perubahan-perubahan tersebut cenderung dilakukan secara cicilan sepotong-sepotong tanpa peta jalan (road-map) yang jelas. Akibatnya, perubahan sistem norma hukum kita selama 11 tahun masa reformasi ini belum menghasilkan kinerja Negara Hukum yang kita diidealkan. Kedua, pembentukan pelbagai peraturan perundang-undang baru telah sangat banyak menghasil norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan tetapi norma-norma baru itu belum secara cepat tersosialisasikan secara umum sehingga pelaksanaannya di lapangan banyak menghadapi kendala dan kegagalan. Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah terbentuknya norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi dijadikan rujukan dalam praktik.
Ketiga, di masa reformasi ini banyak sekali lembaga baru yang kita bentuk untuk maksud yang mulia, yaitu agar kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sudah berubah sebagai masyarakat demokratis dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara. Pembentukan lembaga-lembaga baru itu dilakukan sekaligus dengan mengubah fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Akan tetapi dalam kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali lembaga-lembaga baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945, sementara lembaga-lembaga yang lama sudah lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsi yang diambil alih oleh lembaga baru. Akibatnya, timbul gejala tumpang tindih akibat banyaknya lembaga yang menangani satu fungsi yang sama, sementara di pihak lain banyak fungsi yang ada lembaga yang menanganinya sama sekali. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sesudah 11 tahun masa reformasi ini, kita menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan anomi mencerminkan keadaan yang seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous), sedangkan keadaan anomali menegaskan adanya kekacauan structural dan fungsional dalam hubungan antara lembaga dan badan-badan penyelenggara fungsi kekuasaan negara.
            Dalam konteks pembuatan aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja lembaga-lembaga legislasi dan regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kinerjanya sebagian terbesar masih belum professional dan mengarah kepada upaya perbaikan sistem hukum kita secara keseluruhan. Baik DPR, DPD, DPRD, biro-biro hukum pelbagai instansi pemerintahan masih bekerja secara serabutan dantanpa arah yang jelas, melainkan hanya berdasarkan kebutuhan dadakan dan didasarkan atas pesanan atau pun perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di bidang pelaksanaan kebijakan (policy executing), yang menentukan justru adalah atasan atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi penerapan hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara kuat, dan masih sangat tergantung kepada keteladanan pimpinan.
            Begitu pula dalam proses penegakan hukum (law enforcement), aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja yang tradisional dan cenderung primitif. Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan Chandra memberi tahu kepada kita semua mengenaki kebobrokan dunia penegakan hukum kita. Dari kasus ini jelas tergambar betapa buruknya cara kerja lembaga penyidik di Negara kita. Sebaliknya, lihat pula kasus terungkapnya kasus istana dalam penjara yang melibatkan Artalyta Suryani yang menikmati kamar tidur mewah yang jelas tidak adil bagi narapidana lain yang tidak berpunya. Dengan perkataan lain, kita menghadapi banyak masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke lembaga pemasyarakatan.
            Mengenai kasus Bibit dan Chandra, misalnya, telah menyedot perhatian publik yang sangat luas selama berbulan-bulan. Namun, solusi yang diambil kemudian adalah penghentian perkaranya oleh Kejaksaan atas tekanan publik. Solusi demikian juga mencatatkan preseden yang sangat buruk dalam penegakan hukum yang tunduk kepada tekanan politik. Sekali aparat penegak hukum takluk kepada tekanan politik yang datang dari bawah (civil society), maka pada saat yang lain jangan salahkan jika ada orang yang menilai bahwa aparat yang sama akan tunduk dan takluk pula kepada tekanan politik (state) yang datang dari atas ataupun dari samping (market). Namun demikian, semua sudah menjadi bubur, apa boleh buat, kasus Bibit dan Chandra sudah berakhir, dan kita harus siap menutup buku mengenai hal ini. Akan tetapi, dari kasus Bibit dan Chandra, kasus Istana Artalyta di LP, serta kasus-kasus lainnya, seperti kasus Bank Century dan sebagainya, kita dapat berkaca mengenai bobroknya sistem penegakan hukum di Negara kita. Jalan yang tersedia di hadapan kita hanya satu, yaitu bahwa kita harus melangkah ke depan untuk memperbaiki sistem hukum dan peradilan di tanah air kita sebagaimana mestinya dengan cetak biru dan peta jalan (road-map) yang jelas berdasarkan UUD 1945.
            Untuk itu, kita dapat mengusulkan kiranya sistem peradilan kita dievalusasi dan diadakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan pengadilan dapat ditingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjamin keadilan daripada yang ada sekarang. Misalnya, kita mesti memperbaiki kondisi-kondisi untuk menjamin independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem peradilan yang menjamin mutu putusan seperti dengan menerapkan kebijakan pembatasan perkara di Mahkamah Agung sambil memperkuat kedudukan dan peranan Pengadilan Tinggi di setiap ibukota provinsi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, di lingkungan peradilan, sebaiknya segera diadakan sistem kamar dalam penanganan perkara, tidak lagi sistem majelis seperti yang dipraktikkan selama ini. Dengan sistem kamar itu, perkara-perkara (1) pidana, (2) perdata umum, (3) bisnis, (4) agama, (5) tatausaha Negara, dan (6) militer dapat ditangani secara professional oleh hakim yang memang mengusasi bidang hukum terkait.
            Demikian pula dengan aparat dan aparatur penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembelaaan, dan pemasyarakatan juga perlu segera direformasi secara mendasar. Polisi, sejak berpisah dari TNI (ABRI) tentu harus mengubah wataknya menjadi organisasi sipil. Pendekatannya jangan lagi militeristik. Polisi adalah pengayom masyarakat bukan bermusuhan dengan masyarakat. Kejaksaan dan lembaga-lembaga penuntut khusus lain, yaitu KPK juga harus lah bertindak professional sebagai lembaga penegak keadilan, bukan sekedar merupakan lembaga penegak peraturan.
            Yang tidak kalah peliknya juga adalah profesi advokat yang masih jauh dari idealitas profesionalnya sebagai penegak hukum. Apalagi sampai sekarang, persatuan para advokat dalam wadah tunggal sampai sekarang juga terus menghadapi kendala yang para advokat sendiri tidak juga kunjung dapat menyelesaikannya sendiri. Padahal para advokat mengimpikan watak independensi yang kokoh bagi kedudukan professional mereka. Namun, jika para advokat justru tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah internal mereka, apa alasannya untuk mencegah agar fungsi-fungsi Negara yang relevan ikut berperan jikalau kepentingan rakyat dan negara justru menuntut berfungsinya organisasi tunggal para advokat yang oleh UU Advokat telah dikukuhkan sebagai aparat penegak hukum?
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
sumber: google