KONDISI HUKUM DINEGARA INDONESIA
Kondisi Negara Hukum Indonesia kita dewasa
ini sangat memprihatinkan. Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan
dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat
dipaksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik kita perlukan dalam
rangka pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa,
mendinamisasi, mendorong, dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan hidup
bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan
kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing), hukum juga harus
difungsikan sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang mengikat
dalam menjalankan segala roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara.
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama
menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena
persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya
diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan.
Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam
sistem pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini menimbulkan
akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang
notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di
Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan
hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang
sesungguhnya malah tidak tercapai.
Namun dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan (policy
making) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan (policy executing),
masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat diselesaikan
dengan baik selama 11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma,
perubahan-perubahan telah terjadi dimulai dari norma-norma dasar dalam
konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya dapat
dikatakan bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya
sebagaimana diwarisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutannya maka
keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan harus pula diubah dan diperbarui.
Sebenarnya, upaya pembaruan hukum itu
sendiri tentu dapat dikatakan sudah berjalan selama 11 tahun terakhir ini.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa: Pertama, perubahan-perubahan tersebut
cenderung dilakukan secara cicilan sepotong-sepotong tanpa peta jalan
(road-map) yang jelas. Akibatnya, perubahan sistem norma hukum kita selama 11
tahun masa reformasi ini belum menghasilkan kinerja Negara Hukum yang kita
diidealkan. Kedua, pembentukan pelbagai peraturan perundang-undang baru telah
sangat banyak menghasil norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan
tetapi norma-norma baru itu belum secara cepat tersosialisasikan secara umum
sehingga pelaksanaannya di lapangan banyak menghadapi kendala dan kegagalan.
Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah terbentuknya
norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi dijadikan rujukan dalam praktik.
Ketiga, di masa reformasi ini banyak
sekali lembaga baru yang kita bentuk untuk maksud yang mulia, yaitu agar
kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sudah berubah sebagai masyarakat
demokratis dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh fungsi-fungsi
kekuasaan negara. Pembentukan lembaga-lembaga baru itu dilakukan sekaligus
dengan mengubah fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Akan tetapi
dalam kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali lembaga-lembaga
baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem
kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945, sementara lembaga-lembaga yang lama sudah
lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsi yang diambil alih oleh lembaga baru.
Akibatnya, timbul gejala tumpang tindih akibat banyaknya lembaga yang menangani
satu fungsi yang sama, sementara di pihak lain banyak fungsi yang ada lembaga
yang menanganinya sama sekali. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sesudah 11
tahun masa reformasi ini, kita menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan
anomi mencerminkan keadaan yang seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous),
sedangkan keadaan anomali menegaskan adanya kekacauan structural dan fungsional
dalam hubungan antara lembaga dan badan-badan penyelenggara fungsi kekuasaan
negara.
Dalam konteks pembuatan aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja lembaga-lembaga
legislasi dan regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kinerjanya
sebagian terbesar masih belum professional dan mengarah kepada upaya perbaikan
sistem hukum kita secara keseluruhan. Baik DPR, DPD, DPRD, biro-biro hukum
pelbagai instansi pemerintahan masih bekerja secara serabutan dantanpa arah
yang jelas, melainkan hanya berdasarkan kebutuhan dadakan dan didasarkan atas
pesanan atau pun perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di
bidang pelaksanaan kebijakan (policy executing), yang menentukan justru adalah
atasan atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi
penerapan hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara kuat, dan
masih sangat tergantung kepada keteladanan pimpinan.
Begitu pula dalam proses penegakan hukum (law enforcement), aparat
penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan aparatur
pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja yang tradisional dan cenderung
primitif. Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan Chandra memberi tahu kepada kita
semua mengenaki kebobrokan dunia penegakan hukum kita. Dari kasus ini jelas
tergambar betapa buruknya cara kerja lembaga penyidik di Negara kita.
Sebaliknya, lihat pula kasus terungkapnya kasus istana dalam penjara yang
melibatkan Artalyta Suryani yang menikmati kamar tidur mewah yang jelas tidak
adil bagi narapidana lain yang tidak berpunya. Dengan perkataan lain, kita
menghadapi banyak masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke lembaga
pemasyarakatan.
Mengenai kasus Bibit dan Chandra, misalnya, telah menyedot perhatian publik
yang sangat luas selama berbulan-bulan. Namun, solusi yang diambil kemudian
adalah penghentian perkaranya oleh Kejaksaan atas tekanan publik. Solusi
demikian juga mencatatkan preseden yang sangat buruk dalam penegakan hukum yang
tunduk kepada tekanan politik. Sekali aparat penegak hukum takluk kepada
tekanan politik yang datang dari bawah (civil society), maka pada saat
yang lain jangan salahkan jika ada orang yang menilai bahwa aparat yang sama
akan tunduk dan takluk pula kepada tekanan politik (state) yang datang
dari atas ataupun dari samping (market). Namun demikian, semua sudah
menjadi bubur, apa boleh buat, kasus Bibit dan Chandra sudah berakhir, dan kita
harus siap menutup buku mengenai hal ini. Akan tetapi, dari kasus Bibit dan
Chandra, kasus Istana Artalyta di LP, serta kasus-kasus lainnya, seperti kasus
Bank Century dan sebagainya, kita dapat berkaca mengenai bobroknya sistem penegakan
hukum di Negara kita. Jalan yang tersedia di hadapan kita hanya satu, yaitu
bahwa kita harus melangkah ke depan untuk memperbaiki sistem hukum dan
peradilan di tanah air kita sebagaimana mestinya dengan cetak biru dan peta
jalan (road-map) yang jelas berdasarkan UUD 1945.
Untuk itu, kita dapat mengusulkan kiranya sistem peradilan kita dievalusasi dan
diadakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan pengadilan
dapat ditingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjamin keadilan
daripada yang ada sekarang. Misalnya, kita mesti memperbaiki kondisi-kondisi
untuk menjamin independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem
peradilan yang menjamin mutu putusan seperti dengan menerapkan kebijakan
pembatasan perkara di Mahkamah Agung sambil memperkuat kedudukan dan peranan
Pengadilan Tinggi di setiap ibukota provinsi. Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, di lingkungan peradilan, sebaiknya segera diadakan sistem kamar dalam
penanganan perkara, tidak lagi sistem majelis seperti yang dipraktikkan selama
ini. Dengan sistem kamar itu, perkara-perkara (1) pidana, (2) perdata umum, (3)
bisnis, (4) agama, (5) tatausaha Negara, dan (6) militer dapat ditangani secara
professional oleh hakim yang memang mengusasi bidang hukum terkait.
Demikian pula dengan aparat dan aparatur penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembelaaan, dan pemasyarakatan juga perlu segera direformasi secara mendasar.
Polisi, sejak berpisah dari TNI (ABRI) tentu harus mengubah wataknya menjadi
organisasi sipil. Pendekatannya jangan lagi militeristik. Polisi adalah
pengayom masyarakat bukan bermusuhan dengan masyarakat. Kejaksaan dan
lembaga-lembaga penuntut khusus lain, yaitu KPK juga harus lah bertindak
professional sebagai lembaga penegak keadilan, bukan sekedar merupakan lembaga
penegak peraturan.
Yang tidak kalah peliknya juga adalah profesi advokat yang masih jauh dari
idealitas profesionalnya sebagai penegak hukum. Apalagi sampai sekarang,
persatuan para advokat dalam wadah tunggal sampai sekarang juga terus
menghadapi kendala yang para advokat sendiri tidak juga kunjung dapat
menyelesaikannya sendiri. Padahal para advokat mengimpikan watak independensi
yang kokoh bagi kedudukan professional mereka. Namun, jika para advokat justru
tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah internal mereka, apa alasannya untuk
mencegah agar fungsi-fungsi Negara yang relevan ikut berperan jikalau
kepentingan rakyat dan negara justru menuntut berfungsinya organisasi tunggal
para advokat yang oleh UU Advokat telah dikukuhkan sebagai aparat penegak
hukum?
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi
ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di
Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan
organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode
perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap
setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui
putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya
kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
sumber: google
DUA SIKLON TROPIS BARU BERPOTENSI MUNCUL, BIBITNYA TERDETEKSI BMKG
BalasHapus